Fenomena yang sering terjadi adalah banyak orang yang mengeluhkan problemnya kepada orang lain…bahkan terkadang keluhan tersebut mereka cantumkan dalam status facebook mereka, atau Blackberry atau Twitter, mereka terkadang melakukan demikian karena mengharapkan belas kasih dari sahabat-sahabat mereka yang membaca status mereka tersebut.
Mereka mengeluhkan kondisi mereka, kemiskinan mereka, kesulitan yang mereka hadapi kepada orang lain. Bahkan diantara mereka tidak jarang yang mengeluh sambil menunjukkan “nada protes” dengan keputusan Allah yang Allah taqdirkan kepadanya.
Seorang salaf tatkala melihat ada seseorang yang mengeluhkan kondisinya kepada orang lain maka ia berkata :
وَإِذَا شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّمَا … تَشْكُو الرَّحِيْمَ إِلَى الَّذِي لاَ يَرْحَمُ
Jika engkau mengeluhkan (kondisimu) kepada anak Adam maka sesungguhnya…
Engkau sedang mengeluhkan Allah Yang Maha Penyayang kepada anak Adam yang bukan penyayang…
Marootib (tingkatan-tingkatan) Keluhan
Sesungguhnya mengeluh ada tiga tingkatan:
Pertama : Seseorang mengeluh kepada Allah tentang dirinya sendiri. Ia merasa bahwa segala kondisi buruk yang menimpanya adalah karena dirinya sendiri, seraya mengingat firman Allah :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy-Syuuroo : 30)
وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS An-Nisaa’ : 79)
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. (QS Aali ‘Imroon : 165)
Ini adalah keluhan yang terbaik, yang muncul dari seseorang yang mengenal hakikat dirinya dan mengakui keagungan dan keadilan Allah.
Kedua : Seseorang mengeluh kepada Allah tentang kondisi orang lain, atau tentang sikap buruk orang lain kepadanya. Ini adalah bentuk keluhan yang tengah.
Ketiga : Seseorang yang mengeluhkan kepada orang lain (makhluk) tentang keputusan Allah. Dan ini merupakan bentuk keluhan yang terburuk. (Lihat Al-Fawaaid li Ibnil Qoyyim hal 87-89)
Mengeluh Kepada Allah Meskipun Pada Perkara Yang Dianggap Sepele
Allah adalah Pencipta yang suka jika hambaNya mengeluh dengan berdoa kepadanya seraya menunjukkan kelemahan, kehinaan, dan ketidak mampuan sang hamba di hadapanNya.
Allah berfirman :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan” (QS An-Naml : 62)
اللهَ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ … وَبَنِي آدَمَ حِيْنَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
“Allah marah jika engkau tidak meminta kepadaNya…dan anak Adam jika engkau meminta kepadanya iapun marah”
Seseorang disukai untuk mengeluhkan segala keluh kesahnya, bahkan dalam hal-hal yang menurutnya sepele.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِيَسْأَلَ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaknya salah seorang dari kalian meminta kepada Robnya seluruh kebutuhannya (hajatnya) bahkan sampai untuk memperbaiki tali sandalnya jika terputus” (HR At-Thirmidzi, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykaat no 2251, akan tetapi dalam sanad hadits ini ada pembicaraan, sehingga Al-Albani berubah pendapatnya dan melemahkannya di Ad-Do’iffah no 1362. Namun makna hadits ini tentu benar tanpa diragukan lagi, karena berdo’a adalah ibadah, dan seorang hamba disukai berdoa kepada Allah dalam segala hal dan kondisi)
Allah berfirman mengisahkan tentang permohonan Nabi Musa ‘alaihis salam yang kelaparan:
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ (٢٢)وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (٢٣)فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Dan tatkala Nabi Musa menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar”. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS Al-Qoshos : 22-24)
Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa berkata :
سَارَ مُوْسَى مِنْ مِصْرَ إِلَى مَدْيَنَ، لَيْسَ لَهُ طَعَامٌ إِلاَّ الْبَقْلَ وَوَرَقَ الشَّجَرِ، وَكَانَ حَافِيًا فَمَا وَصَلَ مَدْيَنَ حَتَّى سَقَطَتْ نَعْلُ قَدَمِهِ. وَجَلَسَ فِي الظَّلِّ وَهُوَ صَفْوَةُ اللهِ مِنْ خَلْقِهِ، وَإِنَّ بَطْنَهُ لاَصِقٌ بِظَهْرِهِ مِن الْجُوْعِ…وَإِنَّهُ لَمُحْتَاجٌ إِلَى شَقِّ تَمْرَةٍ
“Nabi Musa berjalan dari negeri Mesir menuju negeri Madyan, ia tidak memiliki makanan kecuali mentimun dan daun-daun pohon. Ia tidak memakai alas kaki, karena tatkala sampai di negeri Madyan sendalnya putus. Lalu ia duduk dibawah rindangan pohon –padahal ia adalah orang yang dipilih Allah- dan perutnya telah menempel dengan punggungnya karena saking laparnya,… Dan sesungguhnya ia sangat membutuhkan sepenggal butir kurma” (Tafsir Ibnu Katsir 6/227)
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan tanpa ragu-ragu memohon dan berdoa kepada Allah karena kelaparan. Bukankah dalam hadits qudsi Allah berfirman :
يَا عِبَادِي! كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ؛ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أُطْعِمْكُمْ.
“Wahai hamba-hambaKu, kalian seluruhnya lapar kecuali yang Aku berikan makanan kepadanya, maka mintalah makanan kepadaku niscaya Aku akan berikan kepada kalian.” (HR Muslim no 2577)
Seseorang hendaknya tidak ragu-ragu untuk menunjukkan kebutuhannya dan kehinaannya kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai hal tersebut nampak pada hamba-hambaNya.
As-Syaikh As-Si’di berkata ;
استِحْبَابُ الدُّعَاءِ بِتَبْيِيْنِ الْحَالِ وَشَرْحِهَا، وَلَوْ كَانَ اللّهُ عَالِمًا لَهَا، لِأَنَّهُ تَعَالَى، يُحِبُّ تَضَرُّعَ عَبْدِهِ وَإِظْهَارَ ذُلِّهِ وَمَسْكَنَتِهِ
“Disunnahkan berdoa dengan menjelaskan kondisi kesulitan yang dihadapi, meskipun Allah mengetahui kondisi tersebut, karena Allah ta’aala menyukai perendahan hamba dan sang hamba yang menunjukkan kehinaan dan kelemahannya.” (Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 618)
Mengeluh Kepada Allah Sunnah Para Nabi
Karenanya berdoa dengan menunjukkan kehinaan dan kerendahan merupakan sunnah para nabi, dan hal ini sama sekali tidak mengurangi kesabaran mereka.
Allah berfirman
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. (QS Al-Anbiyaa’ : 83)
Lihatlah Nabi Ayyub ‘alaihis salaam mengeluhkan kondisinya kepada Allah, akan tetapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kesabaran. Justru inilah yang disukai oleh Allah, tatkala seseorang menampakkan kekurangan dan kebutuhannya kepada Allah. Karenanya Allah berkata tentang Ayyub :
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)” (QS Shood : 44)
Allah juga berfirman tentang Nabi Ya’quub ‘alaihis salaam;
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS Yuusuf : 86)
Dan Allah telah menyebutkan tentang janji Ya’quub untuk menjadi orang yang sabar,
وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS Yuusuf : 18)
Allah juga berfirman:
قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Ya’qub berkata: “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS Yuusuf : 83)
Mengeluh yang tercela adalah keluhan yang menunjukkan protes atau rasa marah terhadap taqdir Allah. Adapun mengeluh kepada Allah dengan menunjukkan kelemahan dan kehinaan serta ketidakmampuan dalam rangka untuk meminta pertolongan Allah, maka inilah yang disukai oleh Allah dan terpuji. Bahkan Allah menguji para hamba-Nya agar terdengar keluhan mereka, doa, dan permohonan mereka kepada-Nya. Dan Allah tidak suka dengan sikap mereka yang sok tegar dan tidak mau mengeluhkan keluhan mereka kepada Allah. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Ar-Ruuh hal 259)
Rahasia Mustajabnya Berdoa Tatkala Sujud
Semakin seorang hamba menunjukkan kehinaan dan kerendahannya maka semakin disukai oleh Allah.
Inilah rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Kondisi hamba paling dekat dengan Robbnya adalah tatkala ia sedang sujud, maka perbanyaklah doa” (HR Muslim no 482)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Adapun ruku’ maka agungkanlah Allah padanya, dan adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah tatkala berdoa, karena lebih mustajab dikabulkan bagi kalian” (HR Muslim no 479)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata tentang kondisi ruku’ dalam sholat,
“Maka iapun menyambut keagungan Allah dengan kehinaan dan ketundukan serta kerendahan. Ia telah menundukkan kepalanya dengan penuh ketenangan, ia bungkukkan punggungnya, dan Robbnya di atasnya melihat kerendahan dan kehinaannya serta mendengarkan pembicaraannya. Maka ruku’ merupakan rukun sholat dalam pengagungan Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
أَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبَّ
“Adapun ruku’ maka agungkanlah Allah padanya !!”
Lalu setelah itu iapun bangkit berdiri seraya memuji Robnya dengan pujian-pujian yang sempurna dan terluas, bahwasanya Allah memang adalah Dzat yang berhak untuk dipuji…lalu iapun bertakbir dan tersungkur sujud dengan mesujudkan bagian tubuhnya yang paling mulia yaitu wajahnya, maka iapun menyungkurkan wajahnya ke tanah dengan penuh kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah. Sungguh seluruh tubuhnya memosisikan dan mengambil bagian dari kehinaan dan kerendahan. Bahkan sampai-sampai ruas-ruas dan ujung-ujung jarinya juga mengambil bagian kehinaan dan kerendahannya… dan disukai jika ia menekankan jidatnya ke pasir sehingga terdorong ke arah depan sehingga jadilah kepalanya menjadi yang paling rendah dari bagian tubuh yang lain sebagai bentuk kesempurnaan dalam penghinaan dan perendahan diri di hadapan Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan dan keagungan. Ini adalah perkara yang sangat ringan yang merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh hambaNya. Kalau seandainya sang hamba terus sujud semenjak ia diciptakan hingga ia meninggal maka ia tidak akan mampu untuk menunaikan hak Robbnya !!!.
Setelah itu iapun diperintahkan untuk mengucapkan سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى “Maha suci Allah Yang Maha Tinggi”, maka iapun mengingat ketinggian Allah dalam kondisi ia paling rendah, serta ia mensucikan Allah dari kondisi semisal kondisinya (dari segala kerendahan). Dzat yang di atas segala sesuatu dan lebih tinggi di atas segalanya disucikan dari segala bentuk dan makna kerendahan, karena Dialah Yang Maha Tinggi dengan meliputi seluruh makna tinggi. Dan tatkala ini (sujud) merupakan puncak kerendahan dan kehinaan seorang hamba maka jadilah Allah paling dekat dengan hamba-Nya tatkala dalam kondisi ini, dan jadilah ia diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa karena kedekatannya dengan Allah Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan Doa. Allah telah berfirman ;
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS Al-‘Alaq : 19).
Dan ruku’ seakan-akan merupakan muqoddimah (pembuka) dan pendahuluan sebelum sujud, maka ia (orang yang sholat) pun berpindah dari kerendahan (tatkala ruku’) kepada kerendahan dan kehinaan yang lebih sempurna dan lebih tinggi derajatnya (yaitu tatkala sujud). Dan antara ruku’ dan sujud dipisahkan dengan suatu rukun (yaitu i’tidal) yang seorang hamba bersungguh-sungguh dalam memuji, menyanjung, serta mengagungkan Allah. Dan ia menjadikan sebelumnya (sebelum i’tidal) kerendahan (ruku’) dan setelah i’tidal kerendahan yang lain (yaitu sujud), dan ia menjadikan kerendahan sujud setelah pujian, sanjungan, dan pengagungan (yang diucapkan tatkala i’tidal-pen)…
Perhatikanlah urutan/tertib yang menakjubkan ini, perpindahan-perpindahan posisi dalam kondisi-kondisi penyembahan?…
Dan tatkala kondisi beribadah yang terbaik dalam sholat adalah sujud maka disyari’atkan untuk diulang, dan dijadikan sujud sebagai penutup raka’at sholat yang dibuka dengan bacaan al-Qur’an, dan merupakan kesesuaian dengan surat Al-‘Alaq yang dibuka dengan perintah membaca al-Qur’an dan ditutup dengan perintah untuk sujud…” (Syifaa al-‘Aliil 228-229)
Al Madinah Al Nabawiyah, 17-01-1434 H / 01 Desember 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com